Latest Post

Bau Nyale, Jejak Peradaban Purba

Written By Unknown on Jumat, 07 Maret 2014 | 18.30

L.Satria Wangsa
Suatu hari di dalam setiap  tahun persisnya  setiap tanggal 20 bulan 10 Penanggalan Sasak maka di banyak titik sepanjang pantai selatan pulau Lombok berkumpul  ribuan orang yang kalo dijumlahkan semua ratusan ribu orang,terdiri dari berbagai kalangan , jenis kelamin dan usia.Dari pejabat tinggi hingga rakyat jelata , mereka yang datang dengan berjalan kaki kiloan kilometer dari rumahnya. Mereka datang  sehari sebelumnya bahkan beberapa hari sebelumnya,rela begadang dan berhujan-hujan,bersesak-sesak.Yang pasti mereka semua untuk satu tujuan yang sama : menanti kadatangan sang Putri,Putri Nyale.

Peristiwa tersebut kita saksikan beberapa minggu yang lalu tepatnya tanggal 20 Februari 2013.Untuk sesaat Pulau Lombok seolah tuntang/miring  ke selatan . Pergerakan massa yang massiv dalam suasana hati yang gembira menuju titik-titik di pantai selatan Lombok seolah melupakan  sejenak permasalahan hidup yang kian menghimpit.Seni budaya ditampilkan menambah semaraknya suasana.Pemerintahpun beserta elemen masyarakat yang peduli budaya dan wisata  juga dengan sigap meramunya menjadi daya tarik wisata.Kemasan yang paling popular tentu Festival Bau Nyale yang berpusat di Pantai Seger ,Kute Lombok Tengah yang berlatar legenda Putri Mandhalike dan dua tahun terakhir dengan Festival Kaliantan yang berpusat di Pantai Kaliantan Lombok Timur yang kami rintis sejak 2012 bersama Lem-Pemuda , Pemda Lombok Timur dan Kadis Pariwisata NTB .

Ritus  Bau Nyale ini dan berbagai hal yang melatarbelakanginya  melengkapi  kekayaan dan keragamam budaya Sasak khusunya budaya Nusantara umumnya bahkan erat terkait dengan peradaban Austronesia. Bau Nyle sesungguhnya merupakan kombinasi harmoni dari sebuah  legenda,astronomi,biologi dan social.

Dan Festival Nyale adalah ritus tahunan yang diselenggarakan kaitan dengan keluarnya cacing Nyale setahun sekali di pantai-pantai selatan Lombok.Secara biologis Nyale adalah sejenis cacing laut atau Eunice Viridis biasanya dengan habitat  di celah batu karang dan termasuk keluarga cacing berbulu (causcing pemangsa berbulu) yang dikenal di Barat. Cacing ini memilki satu atau dua hari dalam setahun untuk berbiak dengan cara memotong tubuh sang betina menjadi dua untuk dibuahi oleh sperma para cacing jantan.Cacing ini sangat baik untuk dikonsumsi karena mengandung sumber gizi dan protein yang tinggi.Masyarakat Lombok sangat menggemarinya ,biasanya mengolahnya dalam bentuk  masakan berkuah atau digoreng atau di pepes.Bungkus bekas pepes Nyale yang terbuat dari daun kelapa  disebut Lepet biasanya ditaruh di persawahan karena diyakini dapat mengusir hama penggangu tanaman padi.

Secara astronomis waktu terjadinya peristiwa Nyale ini sangat berdekatan dengan siklus bulan yang terjadi pada saat bulan Perbani-Pasang laut perbani (neap tide) terjadi ketika bumi ,bulan dan matahari membentuk sudut tegak lurus.Pada saat itu akan dihasilkan pasang naik yang rendah dan pasang surut yang tinggi.Pasang laut Perbani ini terjadi saat bulan seperempat dan tiga perempat –dibagian selatan sama dengan Bulan musim panen dan Bulan musim berburu saat musim gugur di Asia Tenggara.

Fenomena cacing Nyale ini memiliki beberapa fungsi praktis diantaranya menyatukan (menyesuaikan ) tahun kamariah dan matahari setiap tahunnya sehingga para petani dapat menggunakan kalender tahun kamariah untuk merencanakan ritual dan bercocok tanam sepanjang tahun tersebut.Ritual tersebut juga menandai pergantian musim.

Jejak Peradaban Purba.

Seorang Antropolog ternama Stephen J. Oppenheimer dalam  penelitiannya selama 30 tahun di Asia Tenggara yang hasilnya dituangkan dalam bukunya yang fenomenal Eden in the East mendapatkan bahwa Perayaan Nyale merupakan salah satu dari tautan peradaban purba Austronesia.Sebagaimana teori controversial  yang dibangunnya dari  penelitiannya yang mendalam itu bahwa pada zaman purba yakni para era pasca glacial (15.000-6000 tahun yang lalu) kawasan Nusantara merupakan pusat peradaban.Seiring dengan tenggelamnya sebagaian daratan di kawasan yang kita kenal dengan kawasan paparan sunda dan paparan sahul akibat kenaikan air laut dalam tiga periode maka penduduk yang telah berkebudayaan tinggi dari kawasan tersebut melakukan migrasi ke berbagai tempat yang lebih tinggi secara berangsur-angsur ke seluruh penjuru mata angin dengan membawa serta peradabannya.Salah satunya adalah rumpun bahasa Austronesia dengan Asia Tenggara sebagai sentrumnya menyebar ke barat hingga  Madagaskar –di Afrika,ke timur   hingga pulau Paskah ,Fiji ,Samoa dan lainnya di kawasan Polinesia ,ke utara hingga kawasan Korea dan ke selatan hingga ke Australia - New Zaeland.Begitu juga dengan  berbagai ritus yang salah satunya yaitu Perayaan Nyale.

Perayaan Nyale menurut Oppenheimer merupakan tradisi purba Pemujaan terhadap Bulan ,kesuburan dan pertanian. Pemujaan terhadap Bulan dan kesuburan yang masih sangat bertahan dapat ditemukan di Nusa Tenggara dan di kepulauan Malaysia serta di kepulauan Pasifik dan Polinesia. Ritual ini mengungkap mengapa bulan sangat di puja.Di beberapa tempat di pulau Lombok hingga Maluku sebuah acara Festival tahunan dimulai sekitar musim gugur di wilayah selatan dengan cacing Nyale mengerumuni lautan.

Dikenal juga dengan nama cacing palolo di Fiji dan Samoa. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan perbani di dekat waktu musim semi di selatan ,yang di  Polinesia Tengah pada posisi 60 derajat dari garis bujur barat .Kejadian ini yang masih bertahan dalam budaya megalitikum di Nusa Tenggara untuk menandai dimulainya tahun ritual kamariah.Meskipun bulan yang pasti dari kerumunan (Nyale) pertama sedikit berbeda disetiap daerah tetapi peristiwa tersebut dapat diramalkan harinya di setiap daerah dengan mengetahui posisi Matahari dan Bulan.Perbedaan tahunnya ditentukan oleh sifat saling mempengaruhi dari tahun matahari (365 hari) dan tahun kamariah (354 hari) ketika siklus kamariah mendapatkan satu bulan kira-kira setiap tiga tahun. Ritual ini adalah berfungsi  mengamati Bulan dan menghitung tahun, selain itu mengamati jumlah cacing yang muncul untuk meramalkan keberhasilan panen.Demikian diskripsi Oppenheimer.

Oppenheimer memperkirakan penyebaran tradisi ini ketika para nenek moyang yang berasal dari Nusantara  meninggalkan kawasan ini  pada periode terakhir era pascaglacial yaitu sekitar 6000 tahun yang lalu.Keyakinan ilmiahnya bahwa tradisi ini berasal dari sumber yang sama salah satunya dimana ia mendapatkan bahwa perayaan Nyale ini diberbagai-bagai tempat di kawasan Austronesia tersebut selain pada waktu penyelenggaraan yang hampir bersamaan juga dengan thema Mitologi yang hamper sama yaitu tentang seorang Putri yaitu Putri Bulan,Putri Laut,Bidadari laut,juga Putri yang menceburkan diri ke laut .Anehnya di luar kawasan Austronesia yakni di kawasan Mediteranian terdapat tradisi perayaan yang sama atas munculnya cacing laut di sekitar laut mediteranian yang berdasarkan  mitologi Yunani dianggap sebagai penjelmaan Putri Dewa Laut. Hal ini menambah daftar  ada banyak sekali adat istiadat di Barat yang sama dengan adat istiadat yang mengelilingi khatulistiwa pada musim gugur. Ini adalah penanda penting tentang  adanya tautan peradaban.Peradaban yang telah ada sejak zaman purba yang masih bertahan hingga kini.

Di Pulau Lombok perayaan munculnya Nyale yang dikenal dengan Bau Nyale umumnya dikaitkan dengan legenda pengorbanan diri  putri Mandhalike dari kerajaan Tonjeng Beru untuk menyelamatkan rakyatnya dari pertumpahan darah sebagai imbas persaingan beberapa pangeran dari kerajaan sekitar yang semua bertekad memperistrinya .Legenda lainnya dikaitkan dengan putri dari beberapa kerajaan di Lombok namun legenda  Nyale sebagai penjelmaan Mandhalike adalah yang paling popular dari antaranya.

Merujuk pada teori Oppenheimer diatas berarti tanpa kita sadari  ritus Bau Nyale ini merupakan bagian dari ritus universal ,telah berusia ribuan tahun dan  mejadi momen kegembiraan di berbagai belahan dunia. Dan setelah melewati masa ribuan tahun ritus ini bukannya memunah justru sebaliknya semakin  meriah penyelenggaraannya khusunya di Lombok. Karenanya menarik kiranya dalam rangka internasionalisasi pariwisata Lombok maka perayaan  Bau Nyale ini kita beri tagline  sebagai Hari Kegembiraan Universal dengan thema Ciptakan Kegembiraan Dunia Dengan BAU NYALE .Semoga.

Sekian

Hamka Tak Hanya Piawai Bikin Roman Cinta

Hari Santoso

Suara Merdeka, 9 Nov 2013

APAKAH masih relevan membicarakan Hamka dan karya-karya pada masa kini? ”Masih sangat relevan. Pertama, Hamka mengajari kita untuk mengembangkan toleransi kehidupan di tengah-tengah bangsa yang selalu hendak pecah.
Kedua, dia mengajak kita untuk selalu mempertanyakan adat, aturan-aturan kehidupan, dan budaya,” kata sastrawan Triyanto Triwikromo dalam seminar bertema ”Kontribusi Hamka terhadap Pengembangan Dakwah dan Pemikiran Islam Indonesia” di Aula Letkol dr Soetomo Bariodipoero Lantai III Gedung Ar- Razy Fakultas Kedokteran Unissula, kemarin.

Membedah roman Tenggelamnja Kapal Van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka’bah, Triyanto mengingatkan, betapa Hamka tak hanya piawai menulis roman cinta yang mendayudayu, tetap berhasil melesapkan gagasan tentang toleransi dan konstruksi ulang adat ketika harus berhadapan dengan keindonesiaan.

”Hajati adalah lambang Minang masa lalu, sedangkan Chadidjah dan Aziz merupakan Minang masa kini yang tercela. Adapun Zainuddin, tokoh utama, adalah sosok ideal yang mempertemukan masa lalu, masa kini, dan masa depan depan untuk kehidupan sekarang.” Karena itu, tandas penulis Celeng Satu Celeng Semua itu, tidak keliru jika Unissula memberikan Budai Award kepada pria yang pada 1938 telah menghasilkan roman fenomenal yang kini difilmkan oleh para sutradara muda.

Pendapat cendekiawan Fachry Ali setali tiga uang. ”Hamka telah mengambil peran yang tidak bisa dilakukan oleh para aktivis pergerakan pada masa itu. Dia menjadi aktivis sekaligus seniman atau budayawan.

Ini tidak bisa dilakukan Sjahrir.” Selain itu, membicarakan Hamka pada masa kini masih relevan karena lewat pikiranpikiran Haji Abdul Malik Karim Amarullah yang lahir di Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, ini, tandas Fachry Ali, orang dituntut untuk menjadi cendekiawan sejati atau orang yang tidak mengharapkan uang atau materi dari karya-karya yang disumbangkan.

Tak Mendendam

Irfan Hamka, putra kelima Hamka yang menulis buku bertajuk Ayah… punya kenangankenangan tak terlupakan. ”Ayah saya bukan tipe pendendam meskipun kepada penguasa yang memenjara kehidupannya. Buya pernah berseberangan dengan Presiden Soekarno. Namun dia bersedia menuruti wasiat dan menshalati jenazah Putra Sang Fajar.”

Irfan juga menceritakan perbedaan sikap politik ayahnya dengan tokoh M Jamin dan Pramoedya Ananta Toer. ”Jamin saat meninggal malah menggenggam tangan ayah saya. Adapun Pramoedya —lewat putrinya— meminta ayah untuk mengislamkan calon menantu. Ini membuktikan betapa ayah bukan tipe pendendam.

Dia bahkan meminta orang agar tak membakar karya-karya Pramoedya.” Karena itulah, Pemred Suara Merdeka Amir Machmud menilai penghargaan Hamka terhadap kemajemukan menyamai sikap Gus Dur. Keduanya adalah tokohtokoh besar yang hadir memberikan banyak keteladanan.

”Mereka adalah pahlawan yang melampaui zaman.” Rektor Unissula Prof Laode M Kamaludin mengakui kiprah Buya Hamka yang memberikan keteladanan untuk semua anak bangsa dan membawanya kepada anugerah Budai Award 2013. ”Budai Award adalah penghargaan yang diberikan Unissula kepada tokoh-tokoh yang pemikirannya bisa menjadi suri teladan dan Hamka adalah suri teladan itu,” katanya. Adapun Budai Award akan diberikan hari ini (9/11).

Hamka yang telah wafat mungkin tak pernah membayangkan bahwa pikiran- pikiran dan karya-karyanya akan dihargai oleh orang-orang yang jauh dari Minangkabau. Pikiran-pikiran dan karyanya telah melesat ke tempat dan waktu lain.

SASTRA DAN BUDAYA SASAK DIBELANTARA MODEREN

Janual Aidi*


“Manusia tidak dipahami melalui eksistensi fisik, secara substansial, melainkan melalui karya dan ciptaannya…” (Ernst Cassirer) Satu kenyataan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun juga bahwa sesungguhnya suku Sasak merupakan suku yang kaya akan sastra dan budaya. Sebut saja diantara karya-karya tulis pada zaman dahulu (naskah lama) seperti: Babad Selaparang, Babad Lombok, Babad Praya, Babad Praya (Mengawi), Babad Sakra, Babad Sari Manik, Jatiswara, Silsilah Batu Dendang, Nabi Haparas, Cilinaya, Cupak Gerantang, Doyan Neda, Pengganis, Kertanah, Dajjal dan Kotaragama. Ataupun yang dalam perkembangannya, naskah-naskah tersebut banyak diubah kedalam bentuk puisi yang selanjutnya ditembangkan. Tembang-tembang tersebut banyak dipergunakan untuk menulis sastra-sastra Sasak seperti Takepan Monyeh, Lontar Demung Sandubaya dan lainnya. Dan kurang lebih ada enam tembang yang biasa ditembangkan oleh suku Sasak pada masa dulu yaitu: tembang Maskumambang, tembang Asmarandana, tembang Dangdang, tembang Sinom, tembang Pangkur dan tembang Durma. Juga ada banyak karya-karya sastra lainnya yang tidak dapat disebut satu-persatu karena terbatas oleh “ruang kesadaran pewarisan” terhadap generasi penerus. Hal semacam ini sangat cukup untuk disayangkan. Manusia Sasak semakin digerogoti oleh ‘budaya pop’. Generasi Sasak sekarang seolah kehilangan identitas kesustraan ataupun budayanya. Mengalami kebuntuan dan terperosok jauh kedalam lembah kepopuleran. Saya yakin, diantara ribuan generasi Sasak sekarang hanya segelintir saja yang tahu sedikit, peduli dan cinta terhadap sastra dan budaya lokal. Generasi Sasak sekarang seolah ‘antipati’ terhadap sastra dan budaya sendiri. Dan kalau diadakan votting bagi generasi Sasak saat ini, apakah ingin mengonsumsi ‘sastra dan budaya Sasak’ atau ‘pop’, maka saya yakin 99,99% bahwa hasil akhirnya adalah generasi Sasak sekarang akan mengambil ‘option’ budaya pop.

Sebagai penguat argumentasi diatas, marilah kita coba perhatikan realitas generasi Sasak sekarang lewat sebuah studi penelitian kecil-kecilkan. Coba kita perhatikan dan telusuri sejenak mengenai simpanan ‘lagu apa’ yang ada atau lebih banyak di-save pada masing- masing Hand Phone , MP3 Player atau MP4 Player oleh generasi Sasak sekarang! Adapun hasil penelusuran yang saya lakukan menunjukkan bahwa dari 80 sampel hanya terdapat 2 sampel yang men-save lagu-lagu Sasak. Hasil identifikasi ini cukup mencengangkan sekaligus membuka mata kita bahwa generasi Sasak sekarang lebih condong pada sastra ataupun budaya ‘pop’ daripada sastra dan budaya sendiri.Yang perlu kita ketahui dan renungi sebagai generasi Sasak penerus adalah sejarah Sasak telah berbicara bahwa sebelum abad ke-20 hampir semua pesta rakyat yang dilangsungkan di pulau Lombok diramai-semarakkan dengan pembacaan tembang-tembang Sasak yang disusun pada daun lontar dan lainnya. Dan ternyata, pembacaan tembang-tembang tersebut selain berfungsi sebagai hiburan bagi masyarakat setempat, juga sebagai sarana pelestarian budaya atau sebagai sarana pembinaan ‘budi pekerti’ dan watak yang terpuji bagi para pendengarnya. Kini, masihkah tembang-tembang merdu yang termasuk bagian dari’kearifan local’ (local wisdom) tersebut bisa didengar dan dinikmati? Jawabannya telah kita ketahui bersama, jarang dan sulit untuk bisa didengar dan dinikmati bahkan mungkin nyaris kehilangan jiwa dan nyawa.

Terlepas dari semua hal di atas, maka lewat tulisan ini mengajak kita semua untuk kembali mencintai sastra dan budaya Sasak. Ada banyak nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam sastra dan budaya Sasak. Misalnya saja garis besar naskah Kotaragama yang berisi nilai-nilai penting yang menyangkut masalah kepemimpinan, kesejahteraan rakyat, keadilan, peraturan (hukum), dan masalah kehidupan lainnya seperti masalah perkawinan, hutang-piutang, pencurian, hak dan kewajiban raja serta rakyat dan lain sebagainya. Semua tersebut sebenarnya adalah kekayaan suku Sasak yang tak terhargakan karena semuanya syarat dengan nilai-nilai luhur. Artinya, sastra dan budaya Sasak yang ada tidak hanya sebatas memiliki kemolekan logat, melainkan ‘full’dengan nilai-nilai luhur yang sulit untuk ditandingi. Karya seni tidak lahir dari kekosongan, melainkan menggambarkan historik realitas sosial budaya yang khas dan mengandung kesadaran kolektif. Mari kita bersama peduli, mencintai dan mengonsumsi sastra dan budaya sasak yang ada. Mempelajarinya sehingga mendapatkan ‘intisari’ akan keluhuran nilai-nilai yang terkandung. Selain melestarikan sastra dan budaya Sasak dengan cara mencintai, peduli dan mengonsumsi, maka satu garis perjuangan dan pergerakan bendera sastra dan budaya yang harus dilakoni lagi adalah dengan cara menciptakan karya-karya sastra dan budaya yang berkaitan erat dengan realitas sosio-kultural masyarakat Sasak sekarang. Dengan kata lain, manusia Sasak sekarang harus mampu menelurkan karya sastra dan budaya baru. Sastra dan budaya Sasak harus eksis ditengah terpaan modernisme.

Nah, dengan memberikan perhatian pada sastra lokal berarti kita telah menopang program pengembangan sastra dan budaya secara multikultural. Dan dengan adanya kesadaran kolektif dan perhatian untuk menciptakan karya-karya bernuansa news local wisdom, maka sama artinya dengan melahirkan sastrawan dan budayawan baru. Dan pada dasarnya pula, tidak ada masyarakat yang tidak bersastra dan berbudaya. Maksudnya adalah tidak ada masyarakat yang tidak memberikan kontribusi terhadap perkembangan sastra dan budaya. Sebaliknya, tidak ada masyarakat yang tidak mendapat pengaruh perkembanagan sastra dan budaya. Institusi budayapun berfungsi untuk membangun kesadaran budaya, sebab tanpa institusi seni menjadi terasing bagi masyarakat. Institusi budaya harus berjalan efektif.

Selanjutnya, perkembangan sastra dan budaya Sasak adalah lahirnya karya-karya dan budaya yang ‘tidak sebanding’ dengan kuantitas masyarakat. Maksudnya, jumlah karya sastra yang lahir sangat jauh minimnya bila dibandingkan dengan jumlah penduduk suku Sasak. Dengan mengetahui kenyataan sastra dan budaya Sasak seperti tadi, tetap kita tidak boleh berkecil hati. Kedepan, generasi Sasak harus bisa melahirkan karya-karya sastra dan budaya yang bersifat ‘kekinian’.

Adapun karya sastra budaya dari tangan generasi Sasak sekarang seperti novel yang berjudul “Tuan Guru” dengan tebal 641 halaman yang terdiri dari 40 bagian. Novel tersebut lahir dari buah karya ‘generasi Sasak tulen’ yang bernama Salman Faris, lelaki yang lahir dari wanita buta huruf diRensing Lombok Timur.

Meski pada bedah novel dikatakan bahwa karya sastra tersebut dinilai kontraversial, namun novel tersebut lebih pantas dinilai sebagai kritik sosial. Karena sebenarnya sastra dan realitas sosial adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sastra merupakan ‘buah karya’ yang diproduksi dan distrukturasi dari berbagai dinamika reel masyarakat. Sehingga sastra bisa saja dibahasakan sebagai potret sosial yang menyuguhkan kembali realitas masyarakat yang pernah terjadi dengan cara yang khas sesuai dengan penafsiran ataupun sudut pandang pembacanya. Saya teringat dengan sosiolog Karl Manheim yang dalam teorinya menyatakan bahwa setiap karya seni (termasuk sastra) mau tidak mau akan menyampaikan makna pada tiga tingkat yang berbeda. Pertama, tingkat objektif meaning, yaitu hubungan suatu karya sastra dengan dirinya sendiri; apakah karya sastra gagal atau berhasil dalam menjelmakan keindahan ataupun pesan yang hendak disampaikan. Kedua, tingkat expressive meaning, yaitu hubungan antara karya sastra itu dengan latar belakang psikologi penciptanya; apakah karya sastra diciptakan untuk mengenang sesuatu yang penting ataupun bermakna dalam kehidupan penciptanya. Ketiga, tingkat docementary meaning, yaitu makna yang berhubungan antara karya sastra dengan konteks sosial penciptanya. Suatu karya sastra merupakan dokumen sosial tentang keadaan masyarakat dan alam pikiran.

Nah, novel ‘Tuan Guru’ masuk pada tingkat yang ketiga. Struktur karya sastranya dibentuk dari proses strukturasi nilai-nilai sosial-budaya yang terjadi pada masyarakat Sasak. Adalah ‘Tuan Guru’ yang oleh masyarakat Sasak dipahami sebagai sosok guru yang pernah menjalankan ibadah haji serta dijadikan sebagai pemuka agama Islam yang dihormati dan menjadi panutan masyarakat. Namun, ‘Tuan Guru’ dalam karya Salman Faris lebih diartikan dari sisi lain, sisi aktor sentral yang memiliki pengaruh besar terhadap ‘pendulung suara rakyat’ pada Pemilu Pilpres ataupun Pemilu Kepala Daerah. Demikianlah ‘Tuan Guru’ ditempatkan pada nalar sastra sang pengarang. Sang pengarang yang melihat ‘Tuan Guru’ dari jendela yang berbeda. Hal demikian mungkin tidak jauh berbeda dengan sosok Nietzsche (pengarang terpenting kesusastraan Jerman) abad ke-19, Bapak Posmodernisme) dalam karya besarnya yang berjudul The Will to Power. Dalam karya tersebut Nietzsche menjelaskan pendapatnya tentang konsep “Tuhan sudah mati” (Gott ist tot). Gagasan Tuhan sudah mati, khusus kaitannya dengan seni, pengertian Tuhan sudah mati mengandung arti mengatasi pesimisme, kegagalan dan berbagai kelemahan manusia. Begitulah ketika sastra dam budaya berbicara.

Sedangkan karya sastra Sasak lainnya seperti “Tahajjut Cinta” buah karya dari Paidul Wizari, yang bisa dimasukkan pada tingkat kedua tentang penyampaian makna dalam teori Karl Manheim. Dan yang tidak kalah bagus dan menariknya juga adalah beberapa karya tulis dalam bentuk untaian syair dari sosok legendaris suku Sasak yaitu Almagfullah Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Untaian-untaian syair tersebut bisa dimasukkan pada tingkat pertama tentang penyampaian makna dalam teori Karl Manheim. Begitu pula dikala memerhatikan buku-buku garapan generasi Sasak sekarang (‘Membongkar Mistreri Politik diNTB’ karangan Badrun AM) yang sengaja memasukkan metafora simbolik Sasak seperti metafora Kao Dongol (metafora yang menunjuk pada sikap yang lahir tanpa berpikir), Kemodong Aur (metafora yang menggambarkan subyek penanda atas eksistensi sebuah mahluk yang cerdik, cerdas, berwawasan dan dapat memahami semua kepentingan), dan Lepang Kerek (metafora yang menyatakan sindiran kepada orang yang bersikap lamban dan tidak progresif). Adapula teater dan musik daerah garapan generasi Sasak sekarng yang didalamnya mengandung unsur-unsur sastra. Jelasnya, karya-karya sastra dan budaya Sasak baik lama maupun moderen memegang peranan penting bagi kehidupan masyarakat Sasak. Demikian gambaran sastra dan budaya Sasak ditengah belantara moderen saat ini. Terakhir, saya ingin mengatakan “sejarah sastra dan budaya adalah sejarah tanggapan pembaca sepanjang zaman”.***

*) Mahasiswa Program Studi Pend. Sosiologi STKIP Hamzanwadi Selong

Karapan Kebo Di Pulau Sumbawa

Barapan Kebo ( bhs. Sumbawa ) berarti Balapan Kerbau,   merupakan suatu permainan tradisional masyarakat Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat yang dilaksanakan awal musim tanam tiba, dimana permainan ini dilakukan diareal persawahan yang dipenuhi oleh lumpur yang baru saja dibajak dengan genangan air sebatas lutut.
Uniknya dalam barapan kebo ini satu pasang kerbau (dua ekor) dilepas sendiri-sendiri yang dengan seorang joki/penunggang pada alat yang disediakan untuk membawa kerbaunya berlari ke garis finish untuk menjatuhkan tonggak (bahasa Samawa: Saka) dan sebuah patung kecil yang tertancap di lumpur di garis finish, namun jangan dikira itu pekerjaan gampang untuk menjatuhkan tonggak, karena pada permainan ini terdapat juga unsur magisnya adu ilmu antara sandro (dukun) satu dengan lainnya, dimana terkadang saat menjelang finish kerbau dan joki melenceng/berbelok jauh dari tonggak atau sang joki terpental dari kerbaunya, bahkan yang lebih fantastis lagi menjelang garis finish sang kerbau tidak bisa lari bahkan tertidur di lumpur atau tanduk kerbau bisa copot/patah tanpa sebab disamping kecepatan kerbau tetap diberi nilai.
Menurut ahlinya tidak semua kerbau dapat menjadi kerbau aduan, karena harus memiliki ciri-ciri khusus seperti pada jenis tanduknya, bentuk tubuhnya, pusaran pada bulunya bahkan cara berjalannyapun menjadi perhatian dan ini membutuhkan waktu yang lama untuk mencari diantara kerbau-kerbau peliharaan yang ada, namun apabila sepasang kerbau yang sudah menjuari perlombaan secara otomatis akan mengangkat status sosial  pemiliknya tentu berikut sandro/ dukunnya bahkan kerbau tersebut nilai jualnya  bisa tiga atau empat kali lipat harga jual dari kerbau peliharaan lainnya dan itupun tidak akan dijual oleh pemiliknya karena sebagai simbol status sosial tadi.



Nyongkolan Ala Masyarakat Sasak


Gendang Beleq Sasak

Gendang Beleq Biasa Di Gunakan Saat Acara-Acara Peayaan Pernikahan dan Lain-Lain

PRESEAN

Aksi Para Pepadu (Sebutan Sasak Dalam Peresean)

FOTO

TUKANG WEB BLOG

 
Support :