Home » » Gendang Beleq Budaya Sasak

Gendang Beleq Budaya Sasak

Written By Unknown on Jumat, 07 Maret 2014 | 14.33

Datusasaklombok-Keindahan Pulau Lombok tidak akan lengkap jika Anda hanya memandang alamnya tanpa melihat keragaman kesenian dan kebudayaan yang ada di dalamnya. 

Salah satu kesenian khas Lombok adalah Gendang Beleq (gendang besar). Kumpulan alat musik tradisional yang dimainkan dengan cara ditabuh berkelompok.

Disebut Gendang Beleq karena salah satu alat musik yang ditabuh berukuran beleq, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti besar.  Gendang beleq dibuat dari batang pohon besar yang bagian tengahnya dilubangi dan dilapisi dengan kulit kambing, sapi, atau pun kerbau. 

Kelengkapan lain dalam instrumen gendang beleq adalah sejumlah alat musik lain seperti oncer (gong), gong, reong (gong chime) dan petuk, dan sejumlah alat musik idiofonik lain (ceng-ceng, saron, calung, rincik) serta instrumen melodis, suling. Demikian kata Mursip.

Perlengkapan Gendang Beleq umumnya masih disakralkan atau jika di dalam bahasa Sasak masih dianggap maliq. Maliq yaitu tabu untuk dianggap remeh atau direndahkan, jika maliq ini dilanggar akan mendapatkan akibat fatal bagi yang melanggarnya baik berupa magis atau fisik. 

Akibat fatal ini disebut dengan tulah manuh (kena batunya), dan mendapat tulah karena melanggar sesuatu yang dianggap maliq.

Sementara itu, bentuk kesenian tradisional Gendang Beleq yang ditemukan dewasa ini adalah perkembangan bentuk dari pengaruh kesenian Bali yaitu Tawaq-Tawaq. 

Perubahan bentuk kesenian ini pertama kali terjadi sekitar tahun 1800 Masehi, ketika Anak Agung Gede Ngurang Karang Asem memerintah di Gumi Sasak (Pulau Lombok).

Sebelumnya, kesenian Gendang Beleq hanya terdiri atas sebuah Jidur (gendang besar yang berbentuk beduq), sebuah gong dan sebuah suling. 

Demikian besarnya pengaruh kebudayaan Bali pada waktu itu, sehingga peralatan kesenian ini berkembang sesuai dengan alat yang digunakan pada kesenian tawaq-tawaq. 

Tetapi, agar tidak meninggalkan nilai-nilai Islam, para seniman suku Sasak pada waktu itu tetap mempertahankan bentuk gendang besar yang menyerupai beduq yang biasa digunakan di masjid. 

Selain itu, jumlah personil yang digunakan pun dibatasi pada jumlah 13 atau 17 orang pemain. Bilangan ini menunjukkan bilangan rakaat dalam shalat.

Demikian juga tata cara memainkan alat ini merupakan perwujudan dari pelaksaan salat berjamaah dan tuntunan hidup bermasyarakat dengan nilai-nilai keislaman.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support :